30 Juni 2013

Surat Untuk Jingga


Pada detik ini aku menangisimu.
Menjauhimu.
Ingin melupkanmu.
Tapi batinku selalu terkikis.
Hingga jeritku tak redam oleh tangis.
Iya aku ingin menumpahkan segalanya.
Aku tersulut cemburu.
Aku tersulut iri.
Hingga baraku jadi api.
Hingga remuk redam dadaku menahan nyeri.
Jingga, bisakah kita memperbaiki masa lalu?
Sedetik saja untuk memperbaiki yang tertinggal.

__

8 Maret 2013

Pernah Pakai Hati ?


Kemarin aku berbincang dengan kawanku. Perbincangan singkat yang sangat singkat. Awalnya kami hanya membicarakan hal penting yang ingin kami buat tak terlalu membuat pening. Tiba tiba dalam kepentingan itu dia berkata. 
"Pernah pacaran pakai hati?" katanya. Aku diam sambil berpikir. Berpikir tentang kamu. Berpikir tentang pertanyaan kawanku. "Tidak, kalau suka dengan orang pakai hati pernah" jawabku. "Tapi, kalau suka orang pakai hati tidak akan pernah menyatu." kataku lagi, dan dia setuju atas jawabanku. Dan perbincangan kita berakhir sampai sini.
Di saat itulah aku mengingatmu. Aku tidak menyalahkan kawanku karena dia membuatku mengingatmu. Tidak sama sekali. Aku menyalahkan aku yang dengan bodohnya masih mengingatmu lagi. Ada hal dari perbincangan kemarin yang harus membuatku menahan sakit lagi. Seperti saat dulu saat aku mati matian mengikhlaskanmu. Memang terlalu singkat perbincangan tadi, tapi kamu tidak akan pernah menyangka seberapa besar efeknya padaku. Seberapa keras aku harus menahan diriku untuk tak mengingatmu lagi. Dan dalam lupaku aku ternyata masih belum bisa melupakanmu.


Hari ini aku ada di kotamu. Kota dimana kita bertemu. Kota dimana aku dan kamu bisa sejauh ini menahan sakit. Pertemuan pertama kita adalah kaku. Kamu diam dan aku sendiri bingung harus memulai menyapamu seperti apa. Canggung dan rasanya aku ingin jauh jauh darimu. Rasa itu masih ada, sekalipun Ia datang menyapaku seperti biasa dengan "hey"-nya. Aku bodoh dan kamu juga. Mungkin kamu akan menyalahkan aku yang datang tiba tiba dan membuatmu menahan sakit lagi. Tapi yang perlu kamu tahu, aku juga mati matian menahan sakit sejak sebelum aku di bandara. Dan harus lebih menahan sakit lagi ketika aku bertemu padamu lagi. 

Aku bisa melihat di matamu bahwa di situ masih ada aku dan segala keburukanku yang kamu anggap sempurna. Aku masih melihat mata berbinar itu dan segala keanehan pada tingkahmu. Mungkin kamu masih bingung harus bagaimana memperlakukanku dengan selayaknya. Kamu tidak perlu bingung. Kamu tahu sendiri kita sama sama menahan sesak. Ada baiknya kita seperti dulu dan melepaskan sesak kita masing masing. Walaupun setelah itu lagi lagi kita harus kesakitan. Tapi setidaknya beban kita berkurang bukan ?

Aku berterimakasih pada kawanku. Yang membuatku mengingatmu lagi setelah mati matian aku mengubur rasaku. Setidaknya berkat dia aku menjadi sadar, bahwa dalam lupaku aku masih saja mengingatmu, jingga.
Aku pakai hati padamu, mungkin karena itulah kita tak pernah menyatu dan mungkin karena kau juga pakai hati padaku juga.

27 Februari 2013

Takdir Atau Kebetulan?



Kita seperti tersesat pada waktu
Seperti ditipu perjumpaan
Seperti dikelabui perpisahan
Seperti dibohongi kerinduan
Seperti dipermainkan kebetulan

Kita seolah adalah dungu
Seolah olah ada batu
Seolah beku

26 - 2 - 2013
Hari itu kebetulan atau bukan, nasib atau bukan, takdir atau bukan, yang pasti aku tahu itu bukan bahagiaku. Tuhan benar benar ingin memberi jarak pada kita yang terlampau jauh. Tuhan benar benar tidak mengecap sedikitpun doa yang tiap malam aku ucapkan. Tuhan benar benar ingin Aku, Kamu, dan Dia juga Ia terus bermain pada lingkaran yang kita ciptakan.

Seperti kataku, ada kalanya waktu tidak mengenal kasihan. Seperti katanya, takdir tidak pernah mengenal kebetulan. Aku selalu percaya bahwa permainan kita ini adalah kebetulan. Bahwa waktu yang terlampau kejam ini adalah kebetulan. Aku selalu percaya, bahwa suatu hari nanti secara kebetulan waktu akan memperbaiki nasib kita. Aku selalu percaya, bahwa suatu hari nanti secara kebetulan Kamu dan Aku akan keluar dari lingkaran yang selama ini menyesakkan.

Ada yang berat di pundakku. Ada pula hal yang terlampau berat di pundakmu. Ada pula hal yang sungguh sangat berat di pundak mereka. Dan sekarang ini, Aku tidak tahu harus bersandar pada pundak yang mana. Sebenarnya aku ingin sekali datang padamu seperti saat itu. Duduk berdua, menceritakan, diceritakan, dan diam. Tapi bagaimana bisa aku mendatangimu, ketika kamu saja rasakan sesak yang lebih dari diriku. Tolong katakan padaku, adakah hal yang bisa memperbaiki 'kebetulan' ini?

Ada yang rusak pada cerita ini. Tak ada ujungnya. Tak ada habisnya. Tak ada jalan keluarnya. Tolong katakan padaku, adakah hal yang bisa memperbaiki cerita ini? Agar Aku dan Kamu tak lagi harus menahan sesak ini. Agar Aku dan Kamu tidak lagi menyakiti Ia dan Dia. Agar Ia dan Dia bisa bahagia tanpa kita merusaknya. Tolong katakan padaku, bagaimana caranya agar kita bisa keluar dari 'kebetulan' ini? Atau kau malah tak mau keluar sama sekali?

Tolong katakan padaku, kapan waktu akan membaik dan pulih dari kejamnya dia ?