11 Agustus 2014

Mungkin

Mungkin ini dulu memang kegemaranku
Merindukan kamu sampai lupa waktu
Mendoakan kamu sampai tersedu sedu
Juga mengintip kamu di masa lalu

Mungkin sekarang inilah kebiasaanku
Menatap kamu dengan ragu ragu
Berceloteh dengan bahasa kaku
Tak lagi berani mengumbar rindu
Juga menutup rapat rapat ingatan lalu          

Mungkin kamu harus terbiasa dengan aku
Yang mulai enggan menyebut namamu
Yang mulai jengah dengan celotehmu
Yang menguap bosan memandangimu
Juga terlalu malas untuk sekedar tersipu malu

Ahh! Aku beri tahu, aku menulis ini sambi mengintip masa lalu.
Karena melupakan tidak semudah membalik tangan
Dan memaafkan tak akan bisa seikhlas Tuhan

Maaf Saya Mengumpat

Tahik!
Dulu saya tidak segan memanggil kamu dengan sebutan hewan
Sekarang pun kalau saya mau, saya ingin menyebut semua kewan di depan kamu
Dulu saya tidak ragu menggambar anjing di dahi kamu
Sekarang pun saya masih bisa melakukannya tanpa ragu
Tapi dulu
Sekarang ini saya tidak mau merusak apa yang sudah tertata
Biar saja kamu lukis anjing dan babi di dahi saya, atau pelacur sekaligus germonya
Saya tidak peduli
Sebab saya sudah susah payah memperbaiki diri

Kamu tahik!
Oh.. Maaf saya mengumpat
:)

10 Agustus 2014

Aku

Aku pelupa yang handal
Tapi tidak handal melupakanmu
Aku pelari yang hebat
Tapi tak hebat lari darimu
Aku sepi yang selalu terusik
Tapi damai karena tawamu
Aku matahari yang terik
Tapi menghangat di dekatmu
Aku hujan gemeritik
Tapi tak segan jadi pelangi untukmu

:)

6 Agustus 2014

Lagi, Aku Tertipu

Hidup itu belajar. Kita sudah belajar sedari kecil, sedari kita lahir. Belajar mendengar suara dan lagu lagu, belajar menghapal wajah ayah dan ibu, belajar merangkak berdiri dan berjalan maju, belajar memanggil nama ayah dan ibu, belajar lari dari tidak tahu. Aku seharusnya tahu itu. Seharusnya aku paham betul masalah itu. Tapi siapa sangka, ternyata aku sama bodohnya dengan keledai dungu.

Kamu pasti bangga. Aku yakin betul kamu pasti bangga. Membodohi aku sampai titik seperti ini. Membutakan aku dari taring di senyummu yang manis sekali. Menulikan aku dari olokan di setiap tawamu yang menyeringai. Kamu bahkan dengan lihai menutup busukmu dengan wangi mawar bertangkai tangkai. Kamu pasti bangga.

Tapi yang salah memang aku. Aku harusnya tahu bahwa ular itu beracun, bahwa serigala tidak hanya mengaum. Bodohnya aku berpikir bahwa mungkin saja ular bisa mencinta dengan hati, bahwa serigala tak mungkin menerkamku hingga mati. Tapi nyatanya memang aku bodoh. Nyatanya memang aku keliru. Nyatanya memang aku sekarat dibuatmu.

Tapi disamping itu semua, aku benar benar berterimakasih. Aku jadi harus berhati hati. Aku jadi tak mudah mempercayai. Kamu benar, aku terlalu lugu. Terlalu diterkam cerita novel yang sendu. Kamu benar, itu semua tahik. Aku harusnya belajar dari realita walaupun pahit. Padahal aku sendiri yang bilang harus berhati hati pada anjing dibelakang sayap malaikat. Tapi malah aku sendiri yang diterkamnya hingga sekarat. Ini lucu, tapi aku berjanji padamu, aku tak ingin lagi jadi pura pura lugu.

:)

5 Agustus 2014

Kamu Maunya Apa?

Melirik
Kamu terusik
Melihat
Kamu menjarak
Berbisik
Aku dibilang berisik
Bicara
Kamu menulikan telinga
Mencuri dengar
Aku dibilang kurang ajar
Mendengar
Aku ditampar

Membuta
Kamu menghadang di depan mata
Membisu
Kamu mengajak bercanda lucu
Menuli
Kamu minta didengar dari hati

Kamu maunya apa?

:)

Nana

"Aku mau ganti nama" kataku siang itu. Aku mau ganti nama jadi Nana. Aku tidak membenci namaku, hanya saja aku pernah mendengar dia memanggil Nana, dan itu terdengar sangat syahdu. Aku mau ganti nama jadi Nana.
"Ganti nama?" tanyamu sambil mengerutkan kening.
"Iya, aku mau ganti nama. Aku mau dipanggil Nana" jawabku penuh harap.
"Kenapa Nana? Kenapa harus diganti? Aku suka namamu"
"Aku mendengar dia memanggil Nana, dia meneriaki Nana, dan suaranya sangat halus dan merdu ketika dia memanggil Nana. Walaupun dia berteriak memanggil Nana, suaranya tetap lembut. Aku mau punya nama Nana" kataku. Aku benar benar iri dengan Nana. Namanya indah didengar di telinga ketika disebut dia. Aku juga mau dipanggil dia Nana dengan nada selembut dan sehalus juga sesyahdu itu.
"Apa kamu tidak mendengar ketika aku memanggil namamu, meneriaki namamu dengan sehalus dan semerdu yang aku bisa. Aku bisa dengan sangat khusyuk menyebut namamu berulang kali. Kamu tidak perlu ganti nama menjadi Nana, karena sekalipun kamu sudah dipanggil Nana, kamu bukan Nana. Aku suka namamu, jangan ganti nama. Aku janji akan tambah berusaha memanggil namamu dengan halus dan lembut juga syahdu seperti dia." jelasmu dengan yakin. Mendengarnya, aku sampai berkaca kaca. Aku jadi enggan ganti nama menjadi Nana. Rasa rasanya memang namaku terdengar sangat pas bila diucap kamu. Iya kamu benar, sekalipun aku dipanggil Nana, aku bukan Nana. Dia tak mungkin memanggilku semerdu dan sehalus dia memanggil Nana. Iya aku dengar, sangat sangat sadar ketika kamu memanggil namaku dengan lembut. Jantungku akan semakin berdebar ketika kamu mengucap namaku.
"Kenapa diam?" tanyamu.
"Aku bingung mau berkata apa."
"Kenapa?"
"Karena kamu selalu punya cara membuatku berbunga bunga. Karena kamu selalu membuatku bahagia. Karena ternyata kamu benar, bahwa namaku memang terasa sangat syahdu jika kamu yang menyebutnya."  ungkapku sambil tersenyum padamu. Kali ini aku yakin, aku tidak mau ganti nama jadi Nana.
"Jadi masih mau ganti nama?"
"Tidak. Aku mau kamu terus berusaha memanggil namaku dengan lembut" kataku dengan yakin. Lalu kita tertawa bersama sama. Mentertawai kebodohanku. Tapi aku tak peduli. Silahkan saja tertawa atas kebodohanku, asal dekapanmu semakin erat dan pelukmu semakin  hangat. Seperti sekarang.

:)

2 Agustus 2014

Karena Kamu

"Jangan kemana-mana." katamu waktu itu. Aku menurut, sebab aku juga tidak tahu hendak kemana. Jalan ini terlalu banyak cabang, sedang jika tidak bersama kamu, aku tidak merasa aman. Ini sudah malam. Dingin dan senyap semakin membuat udara mencekam. Kamu sudah pergi lama, dan aku juga sudah menunggu terlalu lama. Dalam diam aku berdoa agar kamu cepat datang. Kamu tahu aku cengeng, kamu hapal betul itu. Aku mudah menangis, gampang ketakutan, sering dilanda kepanikan, juga banyak lagi yang sering membuat kamu kerepotan. Tapi kamu juga hapal benar apa yang dapat membuatku merasa aman, yang membuatku merasa tak sendirian. Cepatlah datang! Atau aku akan marah benar!

Hampir tengah malam, aku menunggu kamu di bawah tiang lampu jalanan. Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan? Kemana kamu mencari jalan? Kembali saja kemari, lalu pulang bersamaku dengan aman.
"Aku tidak mau"
"Tidak mau apa?"
"Pulang sebagai pecundang"
"Tapi kamu bukan pecundang"
"Aku tidak yakin"
"Kenapa?"
"Hanya belum yakin"
Sekelebat ingatan menghantuiku. Apakah kamu sedang memastikan bahwa kamu bukan pecundang? Percakapan waktu itu, apakah kamu sedang mencari kepastian? Aku tidak peduli jika kamu pecundang. Kamu pecundang, dan aku pecundang yang tanpa perlawanan menyerahkan hatiku pada pecundang. Dari jauh aku melihat sosok. Berjalan terseok seperti kesakitan. Kamu kenapa?
"Kamu kenapa?" tanyaku penuh kekhawatiran. Tapi kamu malah tertawa terbahak bahak seperti kesetanan.
"Syukurlah" katamu
"Syukurlah apa?"
"Syukurlah kamu masih di sini"
"Kamu bilang jangan kemana-mana kan"
"Iya." katamu sambil lagi lagi tersenyum. Indah. Senyum kamu adalah yang paling indah. Tapi aku lebih suka senyum kamu yang sekarang. Lebih bebas, lebih lega, juga lebih membuatku bahagia. Jika sudah begini, sambil terseok sekalipun tapi kalau bersamamu, jalan pulang lebih menyenangkan.

"Apa akan selamanya?" lagi kamu membuka pembicaraan. Aku menatapmu bingung. Selamanya atas apa? Aku pikir aku sudah menjanjikan kamu selamanya atas semua.
"Menungguku. Apa akan selamanya kamu Menungguku?" tanyamu sambil menyelami bola mataku. Jantungku berdegub, kencang sampai-sampai aku takut jika kamu dengar.
"Jika kamu meminta aku untuk menunggumu selamanya, aku akan menunggumu selamanya" jawabku sembari tersenyum. Aku tahu selamanya itu lama yang sangat lama. Tapi aku yakin, kamu adalah orang yang tepat untuk aku tunggu selamanya, karena kamu....
"Dan aku tidak akan pernah membuatmu menunggu selamanya" balasmu sembari mengeratkan gandengan. Aku tersenyum. Begitu juga kamu. Dalam diam kita berjalan pulang. Dengan gandengan yang menghangat dan malam yang mengikat.

Karena kamu tidak akan pernah membuatku menunggu selamanya.

:)

Saat Itu

Aku melihatmu menguap
Lagi dan lagi sebelum habis ceritaku
Ada kantuk di kantung matamu
Juga raut lelah di wajahmu
Saat itu aku paham
Kamu mulai bosan

Lagi aku menyaksikan kamu diam
Berulang kali sampai lelah aku meminta jawaban
Kamu membisu pilu
Ada gemeretak pada rahangmu
Saat itu aku sadar
Kamu mulai enggan bersabar

Lagi aku melihatmu dari belakang
Melangkah cepat di depan
Mulai sering meninggalkan aku di belakang
Saat itu aku tahu
Kamu mulai enggan bersamaku

Aku mulai menangkap ragu ragu di matamu
Ada yang redup di sinar matamu
Juga lirikan ketakutan
Takut jika aku kesakitan
Saat itu aku mengerti
Kamu ingin segera pergi

:)

Meski

Malam tetap sunyi
Mencekam dengan pasti
Angin tetap dingin
Menyayat ari di balik satin
Hadirmu tetap aku rindu
Meski dijerat sembilu
Pelukmu masih aku nanti
Meski jiwa hampir mati

:)

1 Agustus 2014

Pembicaraan Singkat

"Ri, lu kayaknya udah lama ya ga nulis?"
"Nulis kok masih"
"Kok gue ga tau ya"
Karena memang kamu tidak akan pernah tahu.

"Ri, mana coba liat kalo masih nulis"
"Ga ada"
"Gimana sih, katanya masih nulis, mana?"
Padahal sudah aku tulis jelas di raut wajahku.

"Udah ga ada yang bikin galau yaa, makanya jarang nulis"
"Hmm :)"
"Sini deh gue bikin galau kalo gitu =))"
Jelas jelas tiap hari kamu buat aku risau.

"Ri, bikinin puisi dong"
"Tentang?"
"Tentang gue hehehe"
Padahal hampir semua puisiku tentang kamu.

"Gue kangen deh sama tulisan lu"
"Kenapa?"
"Suka aja, suka ga nyangka juga itu lu yang bikin"
Aku juga tidak pernah menyangka karena kamu aku bisa menulis seperti itu.

"Kadang waktu gue baca, gue sering ngebayangin lu"
"Ngebayangin apa?"
"Ngebayangin lu diapain sampe sesakit itu"
Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri pada dirimu, apa yang telah kamu lakukan hingga aku seremuk ini.

"Kalo nulis lagi kasih tau gue ya ri"
"Kenapa?"
"Gue kangen tulisan lu"
Semoga kamu tidak kangen menyakitiku.

"Nanti kalo lu nulis lagi, dan itu tentang gue. Gue kasih hadiah"
"Apa?"
"Lu maunya apa?"
Sampai sekarang pun aku hanya mau kamu.
:)